BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-qur;an
diyakini oleh umat Islam sebagai kalamullah ( firman Allah ) yang mutlak benar
dan berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran serta petunjuk tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan Akhirat.[1]
Berbicara masalah
pendidikan, tentunya tidak terlepas dari ilmu pengetahuan. Seperti yang
diungkapkan oleh Langeveld dalam Tohirin, pendidikan adalah setiap usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan orang dewasa kepada anak itu
untuk pendewasaan anak itu.[2]
Pendidikan bagi
kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan muthlak yang harus dipenuhi
sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali, mustahil suatu kelompok manusia
dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju,
sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.[3]
Di dalam
al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang membahasa tentang pendidikan. Dalam
hal ini pemakalah mencoba membahas ayat-ayat berkaitan dengan obyek pendidikan,
seperti yang terkandung dalam Qs. At-Tahrim (66) ayat 6, Qs. Al-Syu’ara (26)
ayat 214, Qs. At-Taubah (9) ayat 122 dan Qs. An-Nisa (4) ayat 170. Namun karena
keterbatasan sumber dan pengetahuan yang dimiliki, maka dalam pembahasan
makalah ini penyusun memberikan batasan. Yaitu,
yang menjadi kajian dalam makalah ini hanyalah Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
dan Qs. At-Taubah (9) ayat 122.
B. Rumusan Masalah
Relevan dengan
masalah di atas, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah sebagai berikut :
1.
Siapakah yang
menjadi objek pendidikan berdasarkan Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 ?
2.
Siapakah yang
menjadi objek pendidikan berdasarkan Qs. At-Taubah (9) ayat 122 ?
C. Batasan Masalah
Adapun makalah
ini hanya menyajikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan obyek
pendidikan yang terdapat dalam Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 dan Qs. At-Taubah (9)
ayat 122.
D. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penyusunan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
siapa saja yang menjadi objek pendidikan berdasarkan Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
2.
Untuk mengetahui
siapa saja yang menjadi objek pendidikan berdasarkan Qs. At-Taubah (9) ayat
122.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Q.S. At-Tahrim (66) Ayat 6 dan Terjemahannya
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا
ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا
يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ. ٦
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan ( Qs. At-Tahrim : 6 )
1.
Mufrodat
( arti kosa kata) Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
|
Mufrodat
|
Arti
Mufrodat
|
|
يَأ
يُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا
|
Wahai orang-orang
yang beriman
|
|
قُوٓاْ
|
Peliharalah
|
|
أَنفُسَكُمۡ
|
Dirimu
|
|
وَأَهۡلِيكُمۡ
|
Dan Keluargamu
|
|
نَارٗا
|
Api Neraka
|
|
وَقُودُهَا
|
Bahan Bakarnya
|
|
غِلَاظٞ
|
Kasar
|
|
ٱلنَّاسُ
|
Manusia
|
|
ٱلۡحِجَارَةُ
|
Batu
|
|
مَلَٰٓئِكَةٌ
|
Malaikat
|
|
شِدَادٞ
|
Keras
|
2.
Tafsir
Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
Pada
firman Allah SWT. Yang terdapat dalam Qs. At-Tahrim ayat 6 ini Ali Qatadah dan
Mujahid dalam Tafsir Al Qurtubi (Terjemahan). Berkata, “ peliharalah diri
kalian dengan perbuatan kalian, dan peliharalah keluarga kalian dengan wasiat
kalian.[4]
Mengenai
Firman Allah SWT. Dalam surah at-Tahrim ayat 6
tersebut, Mujahid dalam Tafsir Ibnu Katsir, beliau mengatakan,
“Bertakwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa
kepada Allah”.[5]
Sedangkan Qatadah mengemukakan yakni, “hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat
taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau
menjalankan, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat
mereka berbuat maksiat kepada Allah, Peringatkan dan cegahlah”.[6]
Allah
SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keeluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasanya “ yaitu kamu
perintahkan dirimu dan keluarganya yang terdiri dari istri, anak, saudara,
kerabat, sahaya wanita, sahaya laki-laki untuk taat kepada Allah. Dan kamu
larang dirimu beserta semua orang yang berada di bawah tanggung jawabmu untuk
tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah. Kamu ajari dan didik mereka serta
pimpin mereka dengan perintah Allah. Kamu perintahkan mereka untuk
melaksanakannya dan kamu bantu mereka dalam merealisasikannya. Bila kamu
melihat ada yang berbuat maksiat kepada Allah maka cegah dan larang mereka.[7]
Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah berupa fi’il amar yang secara langsung tegas, yakni lafadz (peliharalah/jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang mu’min salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir jalalain proses penjagaan tersebut ialah dengan pelaksanaan perintah taat kepada
Allah merupakan tanggung jawab manusia untuk menjaga dirinya sendiri serta keluarganya. Sebab manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggung jawabannya.[8]
Pada ayat tersebut
terdapat kata قُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡ yang berarti buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang siksaan api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah. Selanjutnya وَأَهۡلِيكُمۡ maksudnya adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak, pembantu budak dan di perintahkan kepada mereka
agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka.
berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan terhadap dirimu dan keluargamu.[9] Kemudian وَقُود adalah sesuatu yang dapat di
pergunakan untuk menyalakan api. Sedangkan ٱلۡحِجَارَةُ
adalah batu berhala yang biasa di sembah oleh masyarakat Jahiliyah.[10] مَلَٰٓئِكَةٌ
dalam ayat tersebut maksudnya mereka yang berjumlah Sembilan belas dan bertugas
menjaga Neraka. Sedangkan غِلَاظٞ شِدَادٞ maksunya adalah hati yang keras, yaitu hati yang tidak memiliki rasa belah kasihan apabila ada orang yang meminta dikasihani. Dan susunan tubuh mereka sangat keras, tebal dan
penampilannya menakutkan.[11]
Lebih lanjut Al-Maraghi mengemukakan maksud ayat tersebut
adalah “wahai orang-orang yang membenarkan adanya Allah dan RosulNya hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan sebagian yang lain tentang keharusan
menjaga diri dari api neraka dan menolaknya, karena yang demikian itu merupakan bentuk ketaatan
kepada Allah dan mengikuti segala perintahNya dan juga mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan
ketaatan yang dapat memelihara dirinya dengan
cara memberikan nasehat dan pendidikan. Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada
mereka”.[12]
3. Munasabah Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 dengan Ayat Lain
yang Terdapat dalam Al-Qur’an
Ketika Allah berfirman, قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ “Peliharalah
dirimu” para ulama sepakat berkata, “Anak termasuk ke dalam firman Allah
itu, sebab anak adalah bagian darinya, hal ini juga dijelaskan Allah SWT. Dalam
Qs. An-Nur (24) ayat 61:
…..وَلَا
عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَن تَأۡكُلُواْ مِنۢ بُيُوتِكُمۡ …
Dan tidak (pula) bagi
dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri.
Ayat
ini menjelaskan bahwasanya seseorang harus mengajari anaknya tentang sesuatu
yang halal dan yang haram, sekaligus menjauhkannya dari kemaksiatan dan dosa,
serta hukum-hukum yang lainnya.[13]
Dalam
ayat lainnya Allah SWT berfirman :
….وَأۡمُرۡ
أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ …..
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. (Qs. Taha (20) ayat 214)”[14]
Telah diriwayatkan, bahwa Umar bin Khattab berkata
ketika turun ayat itu, “wahai Rasulullah, kita menjaga diri kita sendiri.
Tetapi bagaimana kita menjaga keluarga kita ? Rasulullah saw. Menjawab, kamu
larang mereka mengerjakan apa yang diarang oleh Allah untukmu, dan kamu
perintahkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Itulah
penjagaan antara diri mereka dengan neraka.[15]
4.
Munasabah
Qs. At-Tahrim (66) Ayat 6 Dengan Hadits Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah
SAW bersabda,
حَقُّ
الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِأَنْ يُحْسِنَ اسْمُهُ، وَيُعلِمُهُ الْكِتَاَ بَةَ
وَيُزِّجَهُ اِذَا بَلَغَ.
Kewajiban orang tua
terhadap anaknya adalah memberi nama yang bagus, mengajarinya menulis, dan
mengawinkannya jika sudah baligh. (HR. Abu Nu’aim)
Amru
bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya dari Nabi SAW :
مُرُوْا
أبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ،
وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ .
Perintahkanlah (oleh
kalian) anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah
mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat
tidur mereka. (HR. Abu Daud, no. 494).
Hadits
di atas menggambarkan tentang tanggung jawab kita terhadap keluarga, kita harus
mengajari dan mendidik ahli keluarga kita serta membimbing mereka dengan
perintah Allah, kita berhak memerintahkannya. Bila mana kita melihat ada yang
bebuat maksiat kepada Allah, maka cegah dan laranglah mereka. Ini merupakan
kewajiban setiap muslim, yaitu mengajarkan kepada orang yang berada di bawah
tanggung jawab kita segala seseuatu yang telah diwajibkan dan dilarang oleh
Allah SWT kepada mereka.
5.
Pendapat
Para Mufassir tentang Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
a. Al
Qusyairi menuturkan, bahwasanya Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Rasulullah
SAW. Ketika surah At-Tahrim ayat 6 ini turun, beliau bertanya : “wahai
Rasulullah, kami dapat memelihara diri kami. Lalu bagaimana cara kami
memelihara keluarga kami?” Rasulullah menjawab, “kalian harus melarang mereka
dari apa yang Allah larang terhadap kalian, dan memerintahkan mereka kepada apa
yang Allah perintahkan.[16]
b. Qatadah
mengemukakan yakni, “hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah
dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan, serta
membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat
maksiat kepada Allah, Peringatkan dan cegahlah mereka.[17]
c. Muqatil
bin Hayyan mengatakan, setiap muslim berkewajiban mengajari keluarrganya,
termasuk kerabat dan budaknya berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang
diwajibkan Allah SWT kepada mereka dan apa yang dilarangnya.[18]
d. Mujahid
mengatakan, bertakwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian
untuk bertakwa kepada Allah.
Dari
berbagai pendapat di atas dapat pula penulis simpulkan bahwasanya Qs. At-Tahrim
(66) ayat 6 ini bercerita tentang tanggung jawab kita terhadap keluarga, kita
harus mengajari dan mendidik ahli keluarga kita serta membimbing mereka dengan
perintah Allah, kita berhak memerintahkannya. Bila mana kita melihat ada yang
bebuat maksiat kepada Allah, maka cegah dan laranglah mereka. Ini merupakan
kewajiban setiap muslim, yaitu mengajarkan kepada orang yang berada di bawah
tanggung jawab kita segala seseuatu yang telah diwajibkan dan dilarang oleh
Allah SWT kepada mereka.
6.
Pelajaran
yang Dapat Diambil dari Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
Dari
penjelasan Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 dapat diambil sebuah pelajaran penting
jika ditinjau dari aspek pendidikan yaitu :
a. Hendaknya
setiap muslim menjaga dirinya dari api neraka dan menjauhkan dirinya dari
hal-hal yang dapat menjerumuskannya kedalam api neraka, serta hendaknya seorang
muslim itu mengajarkan kepada keluarganya perbuatan-perbuatan yang dengannya
mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka.
b. Dalam
Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 ini juga terdapat isyarat bahwa setiap suami
berkewajiban mempelajari fardu-fardu agama, kebaikan dan budi pekerti yang
nantinya dapat diajarkan kepada ahli keluarganya.
c. Setiap
muslim berkewajiban mengajari dan membimbing keluarganya, termasuk kerabat dan
budaknya berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah SWT kepada
mereka dan apa yang dilarangnya
d. Seorang
suami yang berperan sebagai kepala keluarga, hendaklah ia memerintahkan ahli
keluarganya untuk mengerjakan solat serta sabar dalam memberi peringatan
kepadanya.
B. Qs. At-Taubah (9) ayat 122 dan Terjemahannya
۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا
نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ
وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ
١٢٢
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Qs. At-Taubah
(9) ayat 122)[19]
1.
Mufrodat
( Arti Kosa Kata ) Qs. At-Taubah (9) ayat 122
|
Mufrodat
|
Arti
Mufrodat
|
|
وَمَا كَانَ
|
Dan tidaklah
sepatutnya
|
|
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
|
Orang-orang mukmin
|
|
لِيَنفِرُواْ
كَآفَّةٗ
|
Berangkat ke medan perang
(semuanya)
|
|
نَفَرَ
|
Berangkat berperang
|
|
فِرۡقَةٖ
|
Kelompok besar
|
|
طَآئِفَةٞ
|
Kelompok kecil
|
|
لِّيَتَفَقَّهُواْ
|
Berusaha keras untuk
memperdalam ilmu pengetahuan
|
|
لِيُنذِرُو
|
Memberi peringatan
|
|
يَحۡذَرُونَ
|
Menjaga dirinya
|
2.
Tafsir
Qs. At-Taubah (9) ayat 122
Melalui
ayat ini Allah SWT memperingatkan hamba-hambaNya yang beriman tentang apa yang
semestinya dilakukan, وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang)”. Yakni semuanya untuk memerangi musuh mereka.[20]
Kemudian
Allah mengingatkan bahwa menetapnya sebagian dari mereka dengan tidak berangkat
berperang mengandung kemaslahatan lain yang tidak berwujud jka semua berangkat
perang. Kata لِّيَتَفَقَّهُو Berusaha keras untuk
memperdalam ilmu pengetahuan yakni agar mereka belajar ilmu syar’I,
mengetahui makna-maknanya, memahami rahasia-rahasianya, dan mengajarkan kepada
selain mereka, dan agar mereka dapat memberi peringatan kepada kaumnya jika
mereka kembali kepadanya.[21]
Ayat
ini mengandung keterangan tentang keutamaan ilmu, khususnya pemahaman dalam
agama, dan bahwa ia adalah perkara terpenting bahwa siapa yang mempelajari
ilmu, maka dia harus mengajarkan dan menyebarkannya kepada manusia serta member
nasehat kepada merekan denganya, karena menyebarnya ilmu dari seorang alim
adalah termasuk keberkahannya dan pahalanya yang berkembang. Dalam ayat diatas juga terdapat dua lafadz fi’il amar, yang disertai dengan lam amar, yakni لِّيَتَفَقَّهُو (supaya mereka memperdalam ilmu) dan lafadz لِيُنذِرُو (supaya mereka member peringatan), yang berarti kewajiban untuk belajar mengajar.[22]
Ayat
ini juga mengandung dalil, petunjuk, dan arahan yang sangat halus kepada suatu
faedah penting, yaitu bahwa hendaknya kaum muslimin menyediakan orang-orang
khusus yang dapat menunaikan setiap kepentingan umum mereka, dan agar arah
pandang serta target yang mereka tuju adalah satu, yaitu menegakkan
kemaslahatan agama dan dunia mereka, walaupun jalannya berbeda-beda dan caranya
bermacam-macam. Jadi, perbuatanya beraneka ragam, namun targetnya adalah satu,
dan ini termasuk hikmah yang bersifat umum yang berguna dalam segala urusan.[23]
Ayat
ini juga menerangkan tentang kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut
perjuangan. Yakni hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya bahwa
pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan
penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru
kepada iman dan menegakkan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang menggunakan
pedang itu sendiri tidak diisyaratkan kecuali untuk benteng dan pagar dari
dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari
orang-orang kafir dan munafik.[24]
3.
Munasabah
Qs. At-Taubah (9) ayat 122
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِي سَبِيلِ
ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ
ٱلۡأٓخِرَةِۚ فَمَا مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا
قَلِيلٌ ٣٨
Hai orang-orang
yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah
(untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di
tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan)
diakhirat hanyalah sedikit
Hubungan
antara Qs. At-Taubah ayat 122 dengan Qs. At-Taubah ayat 38 adalah, melalui
kedua ayat ini Allah SWT. Telah menganjurkan pembagian tugas, seluruh orang
yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut
kesanggupan masing-masing, baik secara ringan ataupun secara berat.[25]
Maka
dengan kedua ayat ini Allah pun menuntun, hendaklah jihad itu dibagi kepada
jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang
agama. Jika yang pergi ke medan perang itu bertarung nyawa dengan musuh, maka
yang tinggal di garis belakang memperdalam pengertian agama. Tidak semua orang
akan sanggup mempelajari seluruh agama itu secara ilmiah. Ada pahlawan di medan
perang dengan pedang di tangan, dan ada pula pahlawan digaris belakang merenung
kitab. Keduanya penting dan saling mengisi, apa yang diperjuangkan di garis
muka, kalau tidak ada di belakang yang mengisi rohani.[26]
4.
Munasabah
Qs. At-Taubah (9) ayat 122 dengan Hadits Nabi Muhammad SAW
Rasulullah
SAW bersabda :
اَقْرَبُ
النَّاسِ مِنْ دَ رَجَةِ النُّبُوَّةِ اَهْلُ الْعِلْمِ وَالْجِهَادِ اَمَّا
اَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوْالنَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرَّسُلُ وَاَمَّا
اَهْلُ الْجِهَا دِ فَجَا هَدُوْا بِاَسْيَا فِهِمْ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ
الرُّسُلُ
Manusia yang paling
dekat kepada derajat nubuwat ialah ahli ilmu dan ahli jihad. Adapun ahli ilmu,
merekalah yang menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa oleh rasul-rasul. Dan
adapun ahli jihad, maka merekalah yang berjuang dengan pedang-pedang mereka,
membawa apa yang dibbawa oleh rasul-rasul itu. (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas)[27]
Hadits
ini memberi tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan di dalam
melaksanakan seruan perang, alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan
itu, yaitu golongan kaum beriman yang besar bilangannya itu berperang, dan dari golongan yang besar itu ada sebagian
yang tugas mereka memperdalam ilmu agama.
5.
Pendapat
para Mufassir tentang Qs. At-Taubah (9) ayat 122
a. Al-Biqa’I
mengatakan bahwasanya ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan
menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya
mempertahankan wilayah. Bahkan pertahanan wilayah berkaitan erat dengan
kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumberdaya manusia.[28]
b. Al-Kalabi
mengatakan, melalui riwayat ibnu Abbas, setelah Allah mengecam keras terhadap
orang-orang yang tidak menyertai Rasul dalam peperangan, maka tidak seorangpun
diantara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan
perang untuk selama-lamanya. Sehingga tinggallah Rasulullah sendirian, maka
turunlah wahyu Qs. At-Taubah ayat 122.[29]
6.
Pelajaran
yang dapat diambil dari Qs. At-Taubah (9) ayat 122
a. Setiap
muslim berkewajiban untuk melaksanakan jihad, baik itu keluar untuk berjihad di
medan perang mempertahankan agama dan Negara, maupun yang keluar berjihad dalam
menuntut ilmu agama untuk diajarkan kepada kaum kerabat maupun masyarakat.
b. Setiap muslim harus Menyiapkan diri untuk
memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan Allah, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang berjihat dengan harta dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Qs At Tahrim ayat 6, menunjukkan bahwa
yang menjadi objek pendidikan adalah diri kita sendiri, anak, istri ahli
keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita. Hal ini merupakan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka yang merupakan tarbiyah untuk
diri sendiri dan keluarga.
Dalam Qs At Taubah ayat 122, menunjukkan bahwa yang menjadi objek
pendidikan adalah lebih khusus, yakni sebagian dari orang-orang mu’min.
B. Saran
Diharapkan
dengan tersusunnya makalah ini dapat memperlancar dan mempermudah proses pembelajaran
di ruang lingkup perkuliahan.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdullah
bin Muhammad bin ‘Abdurrahman, (2016). .Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir
(Terj. M.’Abdul Ghoffar, dkk.), Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I,
Abdurrahman
bin Nashir,(2014). Taisir al-Karim
ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan (Terj. Muhammad Ikbal, dkk.), Jakarta :
Darul Haq,
Ahmad
Mustafa al-Maraghi, (1974). Tejemah Tafsir Al-Maraghi (Terj. Bahrun
Abubakar), Semarang : PT. Karya Toha Putra,
Al Qurtubi,
(2009). Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an (terj. Dudi Rosyadi), Jakarta :
Pustaka Azam,
Hamka,
Tafsir Al Azhar, Jakarta : Pustaka Panjimas.
http//google.com.
searc.33namakurnia.wordpress.com
M.Quraish
Sihab, (2002). Tafsir Al-Misbah (pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an), Jakarta
: Lentera Hati,
Muhammad
Nasib ar-Rifa’I,(2000). Taisiru
al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Terj. Syihabuddin), Jakarta : Gema Insani,
Tohirin, (2011).
Dasar-Dasar Metode Penelitian Pendekatan
Praktis Panduan Penulisan KaryaIlmiah (Sinopsis, Proposal Dan Skripsi) Bagi
Peneliti Pemula,Pekanbaru:
![]() |
DAFTAR
PERTANYAAN
1. Dari
Fahrul Rozi :
-
Masukan :
diharapkan pemakalah mengutip pendapat mufassir hendaknya mengetahui dan
memasukkan biografi ulama tersebut, sehingga diketahui latar belakang dari
mufassir tersebut.
-
Pertanyaan :
Dalam Islam yang menjadi objek penelitian adalah anak dan keluarga kita, lalu
bagaimana dengan orang non muslim, apakah mereka tidak termasuk objek
pendidikan Islam ?
2. Dari
Nurhadi :
-
Antara makalah 3
dan 4 saling berhubungan, bagaimana pendapat anda tentang subjek dan objek
pendidikan. Kenapa harus dipisah ? guru disebut sebagai subjek dan murid
sebagai objek !
3. Dari
Basrinsyah :
-
Bagaimana cara
mengimplikasikan cara memukul anak, dan pukulan apa yang baik jika anak
melakukan kesalahan?
JAWABAN
1. Jawaban
untuk masukan dan pertanyaan dari Fahrul Rozi.
Jawaban yang menjdai masukan dari Fahrul Rozi:
Biografi
Al-Biqa’I, Al-Biqa’I memiliki nama lengkap Ibrahim bin Umar
bin Hasan ar-Ribat bin Ali bin Abu Bakar Asy-Syafi’I al-Baqa’I, lahir di Biqa’
kota Damaskus, Suriah pada tahun 809 H / 1406 M dan meninggal pada tahun 885 H
/ 1480 M. Al-Biqa’I merupakan ahli tafsir pertama yang berhasil menemukan metode keserasian ayat demi ayat bahkan kata
perkata dalam Al-Qur’an sehingga kitab tafsirnya diberi nama Nadzmu al-Durar
fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar ( susunan permata tentang hubungan ayat
dengan surah ). Atau lebih dikenal dengan Munasabat al-Biqo’i.
Pengenalan
al-Biqa’I terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an diawali dengan belajar ilmu Qira’ah
dibawah bimbingan Ibnu Jazari seorang ulama ahli Qiro’ah dari Suriyah.
Selanjutnya al-Biqa’I mendalami berbagai ilmu agama dari berbagai ulama ahli
pada masanya. Di antara ulama yang menjadi gurunya adalah at-Taj al Garabili
ahli hadits sekaligus sejarawan (w. 835 H / 1434 M), Abu al-Fadil al-Magrabi
seorang ahli Fikih (w. 866 H / 1465 M), dan al-Qayati, seorang sastrawan dan
ahli Ushul Fikih, lahir 782 H / 1380 M.
Al-Biqa’I pernah
menjadi guru besar dalam bidang Hadist di masjid Qal’at Mesir. Banyak ulama
mengakui kemampuan dan keilmuan beliau, seperti Imam asy-Syaukani menilai
bahwa, al-Biqa’I adalah pakar berbagai disiplin ilmu agama, bukan hanya tafsir saja.
Ibnu al-Imad seorang ahli tafsir mengatakan bahwa al-Biqa’I adalah ilmuan yang
senang berdiskusi, gemar mengkritik dan penulis yang produktif.
Selain ahli
tafsir, ia juga ahli dalam bidang bahasa Dan sastra, bidang Fikih dan Ushul
Fikih, bidang Akidah dan Tasawuf dan ilmu sejarah serta biografi.
Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi
Radhiyallahu anhu
adalah salah satu di
antara para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang telah
lama
masuk Islam.
Beliau masuk Islam sebelum perang Badar.
Akan tetapi, dalam peperangan itu, beliau belum sempat mengikutinya. Baru, setelah peperangan itu, beliau tidak
pernah absen dalam jihad di medan peperangan.
Dia juga salah seorang sahabat Rasulullah
yang masyhur. Dia dikaruniani Allah berupa keutamaan yang tidak
dimiliki sahabat lainnya.
Di antara
keutamaan yang beliau miliki,
yaitu Malaikat Jibril Alahissallamseringkali datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam wujud menyerupai dirinya.
Imam an-Nasaa`i meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Yahya bin Ya’mur rahimahullah
dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
anhuma
ﻲﺒﻠﻜﻟا ﺔﻴﺣد ةرﻮﺻ ﻲﻓ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ا
ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻲﺗﺎﻳ ﻞﻴﺋاﺮﺒﺟ نﺎﻛ.
Malaikat Jibril Alaihissallam mendatangi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam rupa
Dihyah al- Kalbi.
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di
dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, sepulang dari menemui kaisar – dan Dihyah mendapatkan hadiah
yang banyak dari kaisar – ketika ia telah sampai di daerah Hisma, ia dihadang
oleh sekelompok orang dan mereka pun mengambil semua yang ada padanya. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu untuk
memerangi mereka.
Demikian, sekilas kisah
Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu. Pada masa hidupnya, beliau
tinggal
di daerah Mizzah di Damaskus, dan beliau hidup
hingga sampai masa kekhilafahan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan.
Jawaban dari pertanyaan Fahrul Rozi :
Berdasarkan Qs. At-Tahrim ayat 6 : “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (
Qs. At-Tahrim : 6 )
Yang menjadi objek pendidikan atau yang menjadi tanggung jawab dari
setiap muslim adalah dirinya sendiri, ahli keluarga, kaum kerabat dan
orang-orang muslim yang dibawah perlindungan seorang muslim tersebut, hal ini
juga berkaitan dengan ketaatan kepada Allah dan mengikuti segala perintahNya dan juga dalam hal mengajarkan kepada keluarga tentang perbuatan
ketaatan yang dapat memelihara dirinya dengan cara memberikan nasehat dan pendidikan.
Berkenaan dengan orang-orang non muslim merupakan bukan objek pendidikan
atau tanggung jawab dari orang muslim apabila orang non muslim tersebut tidak
mentauhidkan Allah SWT. Karena dalam hal beragama Allah sangat tegas
menjelaskan dalam surah Al-Kafiru ayat 6 : untukkulah agamaku dan untukmulah
agamu.
Intinya adalah orang kafir tersebut akan mempertanggung jawabkan
kekafiran mereka tersebut kehadapan Allah SWT. Sedangkan umat Islam akan
mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan amal yang telah ia lakukan selama
di dunia ini.
2. Jawaban untuk pertanyaan Nurhadi :
Guru merupakan
subjek pendidikan hal ini dikarenakan guru Menerima amant dari orang tua murid untuk mendidik, melainkan juga dari setiap orang yang memerlukan bantuan untuk mendidiknya. sebagai pemegang amanat, guru bertanggung jawab
atas amanat yang diserahkan padanya. Allah SWT
menjelaskan dalam Q.S. an-Nisa ayat 58 yang artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik- baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.
Berdasarkan Qs.
An-Nisa ayat 58 tersebut sangat jelas memaparkan bahwa guru merupakan sosok
sentral yang diamanahkan oleh orang tua untuk mendidik putra-putirnya di
sekolah. guru merupakan TELADAN. Jadi, segala tindak-tanduk guru akan
selalu diperhatikan oleh semua kalangan. Selain itu
Guru bertanggung jawab untuk mendidik
dan membantu menumbuh kembangkan kemampuan anak didik sehingga dapat mencapai
apa yang dicita-citakan. Oleh karena itulah guru disebut sebagai objek
pendidikan.
Berkenaan dengan
murid disebut sebagai objek pendidikan, hal ini jika dilihat dalam proses pendidikan, peserta didik di
samping sebagai
objek juga sebagai subyek pendidikan, Oleh karena itu agar
seorang
pendidik
berhasil
dalam
proses pendidikan. maka pendiddk harus memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya.
3. Jawaban dari pertanyaan Basrinsyah : pendidikan Islam
melihat hukuman pukulan dalam mendidik anak, Sebagaimana kita ketahui, bahwa pendidikan Islam
sejatinya menganut sistem
yang lemah lembut
sebagai pijakan yang paling asasi dalam mendidik, namun demikian hadits Nabi Muhammad SAW
dari Ibnu Amru Bin Ash secara gamblang
dan nyata memerintahkan untuk memukul
anak, kalau anak
tersebut tidak mau taat kepada Allah SWT.
Perintahkanlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika usia mereka 7 tahun, dan di saat usia mereka 10 tahun, pukullah jika mereka tidak melaksanakannya dan pisahkanlah tempat
tidur mereka (HR Hakim
dan
Abu Dawud)
Hadist ini secara sekilas terlihat
seperti bertentangan dengan
kaidah pendidikan Islam yang bersifat lembut dan penuh kasih sayang. Akan tetapi, kalau
dikaji
secara mendalam memukul
anak dalam pendidikan Islam harus memenuhi beberapa unsur di antaranya adalah;
-
Hanya dalam
rangka ketaatan kepada Allah SWT.
-
Setelah berumur
10 tahun, Memukul anak yang tidak melaksanakan shalat bisa dilakukan setelah
proses pengenalan dan proses pembiasaan yang panjang dan terus menerus dengan tahapan dan
periode yang benar. Jika semua proses sudah dilakukan
dan masih mengabaikan shalat atau bermalas-malasan dalam
mengerjakannya, maka pada saat itulah perintah memukul anak ini berlaku sebagai sebuah pelajaran
atas pengabaian terhadap
perintah Allah. Sebab, yang
menjadi prinsip dalam hal ini adalah mematuhi perintah
Allah karena anak-anak masih dalam kondisi fitrah dan
pengaruh setan masih lemah. Jika anak bermalas-malasan dalam melaksanakan perintah Allah, maka itu adalah indikasi
bahwa setan secara perlahan sudah mulai menanamkan pengaruhnya dalam diri anak.
-
Dengan pukulan
yang tidak meninggalkan bekas, Tujuan yang paling utama ketika memukul
anak yang
melalaikan shalat adalah untuk meluruskan dan memperbaiki kesalahannya, bukan untuk menyakitinya. Sehingga pukulannya tidak boleh
meninggalkan bekas, sebab kalau
ini terjadi maka
tujuan yang ingin
dicapai bisa jadi sulit untuk dicapai.
Memukul anak tidak bisa dilakukan sembarangan karena hakikatnya pukulan
kepada anak tidak hanya dapat melukai fisiknya
tapi juga dapat melukai
jiwanya. Orang tua harus memahami
kondisi anak sebelum benar-benar memukulnya. Selain itu, orang tua
juga harus memahami anatomi
tubuh anak, mana yang memungkinkan untuk dipukul
dan mana yang berbahaya kalau dipukul. Kemudian Kondisi orang tua
yang hendak memukul anaknya
tidak boleh dalam
kondisi capek, lapar dan dalam kondisi emosional yang labil. Hal ini untuk mencegah terjadinya penyimpangan tujuan
dari memukul anak
tadi.
-
Adanya Quduwah
(contoh) dari orang tua, Hal
yang sangat penting yang harus diperhatikan orang tua dalam proses pendidikan adalah kebutuhan anak terhadap figur yang bisa dijadikan model oleh
anak
dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, anak
cenderung ingin mengikuti kebiasaan
orang-orang terdekatnya, dalam hal ini adalah ibu dan bapaknya.
Keempat syarat di atas melekat dalam perintah
memukul, sehingga kalau tidak ada salah satu
di antara keempatnya maka pukulan terhadap anak sama sekali tidak dibenarkan dalam perspektif
pendidikan Islam
-
[1]
http//google.com.
searc.33namakurnia.wordpress.com
[2]
Tohirin, Dasar-Dasar Metode Penelitian Pendekatan Praktis
Panduan Penulisan KaryaIlmiah (Sinopsis, Proposal Dan Skripsi) Bagi Peneliti Pemula,Pekanbaru:
2011, hal. 29
[3]
Ibid
[4]
Al Qurtubi, Al Jami’ li
Ahkaam Al Qur’an (terj. Dudi Rosyadi), Jakarta : Pustaka Azam, 2009, hal.
744
[5]
‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Abdurrahman, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir (Terj. M.’Abdul Ghoffar,
dkk.), Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2016, hal. 44
[6]
Ibid
[7]
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Taisiru
al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Terj. Syihabuddin), Jakarta : Gema Insani, 2000, hal. 751
[8]
33 namakurnia, Op.Cit
[9]
‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Abdurrahman, Op.Cit, Hal. 44
[11]
Ibid
[12]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tejemah
Tafsir Al-Maraghi (Terj. Bahrun Abubakar), Semarang : PT. Karya Toha Putra,
1974, hal. 220
[13]
Al Qurtubi, Op.Cit, hal.
746
[14]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op.Cit, hal. 220
[15]
Ibid
[16]
Al Qurtubi, Loc.Cit.
[17]
Abdullah bin Muhammad bin
‘Abdurrahman, Op.Cit, Hal. 44
[18]
Ibid
[19]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op.Cit, hal. 68
[20]
Abdurrahman bin Nashir, Taisir
al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan (Terj. Muhammad Ikbal, dkk.), Jakarta
: Darul Haq, 2014, hal. 387
[22]
Ibid
[23]
Ibid
[24]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op.Cit, hal. 68
[25]
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta
: Pustaka Panjimas, hal. 90
[26]
Ibid, hal. 90
[27]
Ibid, hal. 91
[28]
M.Quraish Sihab, Tafsir
Al-Misbah (pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an), Jakarta : Lentera Hati,
2002, hal.750
[29]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op.Cit, hal. 69

Wynn casino opens in Las Vegas - FilmfileEurope
BalasHapusWynn's first hotel casino in Las Vegas since www.jtmhub.com opening its doors in 1996, Wynn Las 토토 사이트 Vegas is the first hotel kadangpintar on the poormansguidetocasinogambling.com Strip to offer such a large 바카라 사이트 selection of