Minggu, 11 Februari 2018

Ayat-ayat Tentang Objek Pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-qur;an diyakini oleh umat Islam sebagai kalamullah ( firman Allah ) yang mutlak benar dan berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran serta petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan Akhirat.[1]
Berbicara masalah pendidikan, tentunya tidak terlepas dari ilmu pengetahuan. Seperti yang diungkapkan oleh Langeveld dalam Tohirin, pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan orang dewasa kepada anak itu untuk pendewasaan anak itu.[2]
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan muthlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali, mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.[3]
Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang membahasa tentang pendidikan. Dalam hal ini pemakalah mencoba membahas ayat-ayat berkaitan dengan obyek pendidikan, seperti yang terkandung dalam Qs. At-Tahrim (66) ayat 6, Qs. Al-Syu’ara (26) ayat 214, Qs. At-Taubah (9) ayat 122 dan Qs. An-Nisa (4) ayat 170. Namun karena keterbatasan sumber dan pengetahuan yang dimiliki, maka dalam pembahasan makalah ini penyusun memberikan batasan. Yaitu,  yang menjadi kajian dalam makalah ini hanyalah Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 dan Qs. At-Taubah (9) ayat 122.
B.     Rumusan Masalah
Relevan dengan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah sebagai berikut :
1.      Siapakah yang menjadi objek pendidikan berdasarkan Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 ?
2.      Siapakah yang menjadi objek pendidikan berdasarkan Qs. At-Taubah (9) ayat 122 ?
C.    Batasan Masalah
Adapun makalah ini hanya menyajikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan obyek pendidikan yang terdapat dalam Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 dan Qs. At-Taubah (9) ayat 122.
D.    Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui siapa saja yang menjadi objek pendidikan berdasarkan Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
2.      Untuk mengetahui siapa saja yang menjadi objek pendidikan berdasarkan Qs. At-Taubah (9) ayat 122.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Q.S. At-Tahrim (66) Ayat 6 dan Terjemahannya
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ. ٦
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ( Qs. At-Tahrim : 6 )

1.      Mufrodat ( arti kosa kata) Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
Mufrodat
Arti Mufrodat
يَأ يُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا
Wahai orang-orang yang beriman
قُوٓاْ
Peliharalah
أَنفُسَكُمۡ
Dirimu
وَأَهۡلِيكُمۡ
Dan Keluargamu
نَارٗا
Api Neraka
وَقُودُهَا
Bahan Bakarnya
غِلَاظٞ
Kasar
ٱلنَّاسُ
Manusia
ٱلۡحِجَارَةُ
Batu
مَلَٰٓئِكَةٌ
Malaikat
شِدَادٞ
Keras


2.      Tafsir Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
Pada firman Allah SWT. Yang terdapat dalam Qs. At-Tahrim ayat 6 ini Ali Qatadah dan Mujahid dalam Tafsir Al Qurtubi (Terjemahan). Berkata, “ peliharalah diri kalian dengan perbuatan kalian, dan peliharalah keluarga kalian dengan wasiat kalian.[4]
Mengenai Firman Allah SWT. Dalam surah at-Tahrim ayat 6  tersebut, Mujahid dalam Tafsir Ibnu Katsir, beliau mengatakan, “Bertakwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada Allah”.[5] Sedangkan Qatadah mengemukakan yakni, “hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, Peringatkan dan cegahlah”.[6]
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keeluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasanya “ yaitu kamu perintahkan dirimu dan keluarganya yang terdiri dari istri, anak, saudara, kerabat, sahaya wanita, sahaya laki-laki untuk taat kepada Allah. Dan kamu larang dirimu beserta semua orang yang berada di bawah tanggung jawabmu untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah. Kamu ajari dan didik mereka serta pimpin mereka dengan perintah Allah. Kamu perintahkan mereka untuk melaksanakannya dan kamu bantu mereka dalam merealisasikannya. Bila kamu melihat ada yang berbuat maksiat kepada Allah maka cegah dan larang mereka.[7]
Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah berupa fiil amar yang secara langsung tegas, yakni lafadz (peliharalah/jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang mumin salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir jalalain proses penjagaan tersebut ialah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah merupakan tanggung jawab manusia untuk menjaga dirinya sendiri serta keluarganya. Sebab manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggung jawabannya.[8]
Pada ayat tersebut terdapat kata قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ  yang berarti buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang siksaan api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah. Selanjutnya وَأَهۡلِيكُمۡ  maksudnya adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak, pembantu budak dan di perintahkan kepada mereka agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka. berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan terhadap dirimu  dan keluargamu.[9] Kemudian وَقُود adalah sesuatu yang dapat di pergunakan untuk  menyalakan api. Sedangkan ٱلۡحِجَارَةُ adalah batu berhala yang biasa di sembah oleh masyarakat Jahiliyah.[10] مَلَٰٓئِكَةٌ dalam ayat tersebut maksudnya mereka yang berjumlah Sembilan belas dan bertugas menjaga Neraka. Sedangkan غِلَاظٞ شِدَادٞ  maksunya adalah hati yang keras, yaitu hati yang tidak memiliki  rasa belah kasihan apabila ada orang yang meminta dikasihani. Dan susunan tubuh mereka sangat keras, tebal dan penampilannya menakutkan.[11]
Lebih lanjut Al-Maraghi mengemukakan maksud ayat tersebut adalah “wahai orang-orang yang membenarkan adanya Allah dan RosulNya hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan sebagian yang lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan menolaknya, karena yang demikian itu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan mengikuti segala perintahNya dan juga mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan ketaatan yang dapat memelihara dirinya dengan  cara memberikan nasehat dan pendidikan. Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada mereka”.[12]

3.      Munasabah Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 dengan Ayat Lain yang Terdapat dalam Al-Qur’an
Ketika Allah berfirman, قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ  “Peliharalah dirimu” para ulama sepakat berkata, “Anak termasuk ke dalam firman Allah itu, sebab anak adalah bagian darinya, hal ini juga dijelaskan Allah SWT. Dalam Qs. An-Nur (24) ayat 61:
…..وَلَا عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَن تَأۡكُلُواْ مِنۢ بُيُوتِكُمۡ
Dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri.

Ayat ini menjelaskan bahwasanya seseorang harus mengajari anaknya tentang sesuatu yang halal dan yang haram, sekaligus menjauhkannya dari kemaksiatan dan dosa, serta hukum-hukum yang lainnya.[13]
Dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman :
….وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ …..
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. (Qs. Taha (20) ayat 214)”[14]

Telah diriwayatkan, bahwa Umar bin Khattab berkata ketika turun ayat itu, “wahai Rasulullah, kita menjaga diri kita sendiri. Tetapi bagaimana kita menjaga keluarga kita ? Rasulullah saw. Menjawab, kamu larang mereka mengerjakan apa yang diarang oleh Allah untukmu, dan kamu perintahkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Itulah penjagaan antara diri mereka dengan neraka.[15]
4.      Munasabah Qs. At-Tahrim (66) Ayat 6 Dengan Hadits Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah SAW bersabda,
حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِأَنْ يُحْسِنَ اسْمُهُ، وَيُعلِمُهُ الْكِتَاَ بَةَ وَيُزِّجَهُ اِذَا بَلَغَ.

Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang bagus, mengajarinya menulis, dan mengawinkannya jika sudah baligh. (HR. Abu Nu’aim)

Amru bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya dari Nabi SAW :
مُرُوْا أبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ .
Perintahkanlah (oleh kalian) anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Abu Daud, no. 494).

Hadits di atas menggambarkan tentang tanggung jawab kita terhadap keluarga, kita harus mengajari dan mendidik ahli keluarga kita serta membimbing mereka dengan perintah Allah, kita berhak memerintahkannya. Bila mana kita melihat ada yang bebuat maksiat kepada Allah, maka cegah dan laranglah mereka. Ini merupakan kewajiban setiap muslim, yaitu mengajarkan kepada orang yang berada di bawah tanggung jawab kita segala seseuatu yang telah diwajibkan dan dilarang oleh Allah SWT kepada mereka.
5.      Pendapat Para Mufassir tentang Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
a.       Al Qusyairi menuturkan, bahwasanya Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. Ketika surah At-Tahrim ayat 6 ini turun, beliau bertanya : “wahai Rasulullah, kami dapat memelihara diri kami. Lalu bagaimana cara kami memelihara keluarga kami?” Rasulullah menjawab, “kalian harus melarang mereka dari apa yang Allah larang terhadap kalian, dan memerintahkan mereka kepada apa yang Allah perintahkan.[16]
b.      Qatadah mengemukakan yakni, “hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, Peringatkan dan cegahlah mereka.[17]
c.       Muqatil bin Hayyan mengatakan, setiap muslim berkewajiban mengajari keluarrganya, termasuk kerabat dan budaknya berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah SWT kepada mereka dan apa yang dilarangnya.[18]
d.      Mujahid mengatakan, bertakwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada Allah.
Dari berbagai pendapat di atas dapat pula penulis simpulkan bahwasanya Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 ini bercerita tentang tanggung jawab kita terhadap keluarga, kita harus mengajari dan mendidik ahli keluarga kita serta membimbing mereka dengan perintah Allah, kita berhak memerintahkannya. Bila mana kita melihat ada yang bebuat maksiat kepada Allah, maka cegah dan laranglah mereka. Ini merupakan kewajiban setiap muslim, yaitu mengajarkan kepada orang yang berada di bawah tanggung jawab kita segala seseuatu yang telah diwajibkan dan dilarang oleh Allah SWT kepada mereka.
6.      Pelajaran yang Dapat Diambil dari Qs. At-Tahrim (66) ayat 6
Dari penjelasan Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 dapat diambil sebuah pelajaran penting jika ditinjau dari aspek pendidikan yaitu :
a.       Hendaknya setiap muslim menjaga dirinya dari api neraka dan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang dapat menjerumuskannya kedalam api neraka, serta hendaknya seorang muslim itu mengajarkan kepada keluarganya perbuatan-perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka.
b.      Dalam Qs. At-Tahrim (66) ayat 6 ini juga terdapat isyarat bahwa setiap suami berkewajiban mempelajari fardu-fardu agama, kebaikan dan budi pekerti yang nantinya dapat diajarkan kepada ahli keluarganya.
c.       Setiap muslim berkewajiban mengajari dan membimbing keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah SWT kepada mereka dan apa yang dilarangnya
d.      Seorang suami yang berperan sebagai kepala keluarga, hendaklah ia memerintahkan ahli keluarganya untuk mengerjakan solat serta sabar dalam memberi peringatan kepadanya.
B.     Qs. At-Taubah (9) ayat 122 dan Terjemahannya
۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Qs. At-Taubah (9) ayat 122)[19]

1.      Mufrodat ( Arti Kosa Kata ) Qs. At-Taubah (9) ayat 122
Mufrodat
Arti Mufrodat
وَمَا كَانَ
Dan tidaklah sepatutnya
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
Orang-orang mukmin
لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗ
Berangkat ke medan perang (semuanya)
نَفَرَ
Berangkat berperang
فِرۡقَةٖ
Kelompok besar
طَآئِفَةٞ
Kelompok kecil
لِّيَتَفَقَّهُواْ
Berusaha keras untuk memperdalam ilmu pengetahuan
لِيُنذِرُو
Memberi peringatan
يَحۡذَرُونَ
Menjaga dirinya

2.      Tafsir Qs. At-Taubah (9) ayat 122
Melalui ayat ini Allah SWT memperingatkan hamba-hambaNya yang beriman tentang apa yang semestinya dilakukan, وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ  Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang)”. Yakni semuanya untuk memerangi musuh mereka.[20]
Kemudian Allah mengingatkan bahwa menetapnya sebagian dari mereka dengan tidak berangkat berperang mengandung kemaslahatan lain yang tidak berwujud jka semua berangkat perang. Kata لِّيَتَفَقَّهُو  Berusaha keras untuk memperdalam ilmu pengetahuan yakni agar mereka belajar ilmu syar’I, mengetahui makna-maknanya, memahami rahasia-rahasianya, dan mengajarkan kepada selain mereka, dan agar mereka dapat memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka kembali kepadanya.[21]  
Ayat ini mengandung keterangan tentang keutamaan ilmu, khususnya pemahaman dalam agama, dan bahwa ia adalah perkara terpenting bahwa siapa yang mempelajari ilmu, maka dia harus mengajarkan dan menyebarkannya kepada manusia serta member nasehat kepada merekan denganya, karena menyebarnya ilmu dari seorang alim adalah termasuk keberkahannya dan pahalanya yang berkembang. Dalam ayat diatas juga terdapat dua lafadz fiil amar, yang disertai dengan lam amar, yakni لِّيَتَفَقَّهُو (supaya mereka memperdalam ilmu) dan lafadz لِيُنذِرُو (supaya mereka member peringatan), yang berarti kewajiban untuk belajar mengajar.[22]
Ayat ini juga mengandung dalil, petunjuk, dan arahan yang sangat halus kepada suatu faedah penting, yaitu bahwa hendaknya kaum muslimin menyediakan orang-orang khusus yang dapat menunaikan setiap kepentingan umum mereka, dan agar arah pandang serta target yang mereka tuju adalah satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunia mereka, walaupun jalannya berbeda-beda dan caranya bermacam-macam. Jadi, perbuatanya beraneka ragam, namun targetnya adalah satu, dan ini termasuk hikmah yang bersifat umum yang berguna dalam segala urusan.[23]
Ayat ini juga menerangkan tentang kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan. Yakni hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakkan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak diisyaratkan kecuali untuk benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.[24]
3.      Munasabah Qs. At-Taubah (9) ayat 122
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأٓخِرَةِۚ فَمَا مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ ٣٨
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit

Hubungan antara Qs. At-Taubah ayat 122 dengan Qs. At-Taubah ayat 38 adalah, melalui kedua ayat ini Allah SWT. Telah menganjurkan pembagian tugas, seluruh orang yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut kesanggupan masing-masing, baik secara ringan ataupun secara berat.[25]
Maka dengan kedua ayat ini Allah pun menuntun, hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama. Jika yang pergi ke medan perang itu bertarung nyawa dengan musuh, maka yang tinggal di garis belakang memperdalam pengertian agama. Tidak semua orang akan sanggup mempelajari seluruh agama itu secara ilmiah. Ada pahlawan di medan perang dengan pedang di tangan, dan ada pula pahlawan digaris belakang merenung kitab. Keduanya penting dan saling mengisi, apa yang diperjuangkan di garis muka, kalau tidak ada di belakang yang mengisi rohani.[26]
4.      Munasabah Qs. At-Taubah (9) ayat 122 dengan Hadits Nabi Muhammad SAW
Rasulullah SAW bersabda :
اَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَ رَجَةِ النُّبُوَّةِ اَهْلُ الْعِلْمِ وَالْجِهَادِ اَمَّا اَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوْالنَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرَّسُلُ وَاَمَّا اَهْلُ الْجِهَا دِ فَجَا هَدُوْا بِاَسْيَا فِهِمْ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ
Manusia yang paling dekat kepada derajat nubuwat ialah ahli ilmu dan ahli jihad. Adapun ahli ilmu, merekalah yang menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa oleh rasul-rasul. Dan adapun ahli jihad, maka merekalah yang berjuang dengan pedang-pedang mereka, membawa apa yang dibbawa oleh rasul-rasul itu. (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas)[27]
Hadits ini memberi tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan di dalam melaksanakan seruan perang, alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, yaitu golongan kaum beriman yang besar bilangannya itu berperang,  dan dari golongan yang besar itu ada sebagian yang tugas mereka memperdalam ilmu agama.
5.      Pendapat para Mufassir tentang Qs. At-Taubah (9) ayat 122
a.       Al-Biqa’I mengatakan bahwasanya ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah. Bahkan pertahanan wilayah berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumberdaya manusia.[28]
b.      Al-Kalabi mengatakan, melalui riwayat ibnu Abbas, setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai Rasul dalam peperangan, maka tidak seorangpun diantara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan perang untuk selama-lamanya. Sehingga tinggallah Rasulullah sendirian, maka turunlah wahyu Qs. At-Taubah ayat 122.[29]
6.      Pelajaran yang dapat diambil dari Qs. At-Taubah (9) ayat 122
a.       Setiap muslim berkewajiban untuk melaksanakan jihad, baik itu keluar untuk berjihad di medan perang mempertahankan agama dan Negara, maupun yang keluar berjihad dalam menuntut ilmu agama untuk diajarkan kepada kaum kerabat maupun masyarakat.
b.      Setiap muslim harus Menyiapkan diri untuk  memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan Allah, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang berjihat dengan  harta dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam Qs At Tahrim ayat 6, menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah diri kita sendiri, anak, istri ahli keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita. Hal ini merupakan perintah untuk  menjaga diri dan keluarga dari api neraka yang merupakan tarbiyah untuk  diri sendiri dan keluarga.
Dalam Qs At Taubah ayat 122, menunjukkan bahwa yang menjadi objek  pendidikan adalah lebih khusus, yakni sebagian dari orang-orang mumin.
B.     Saran
Diharapkan dengan tersusunnya makalah ini dapat memperlancar dan mempermudah proses pembelajaran di ruang lingkup perkuliahan.









DAFTAR PUSTAKA


‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman, (2016). .Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir (Terj. M.’Abdul Ghoffar, dkk.), Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I,

Abdurrahman bin Nashir,(2014).  Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan (Terj. Muhammad Ikbal, dkk.), Jakarta : Darul Haq,

Ahmad Mustafa al-Maraghi, (1974). Tejemah Tafsir Al-Maraghi (Terj. Bahrun Abubakar), Semarang : PT. Karya Toha Putra,

Al Qurtubi, (2009). Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an (terj. Dudi Rosyadi), Jakarta : Pustaka Azam,

Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta : Pustaka Panjimas.

http//google.com. searc.33namakurnia.wordpress.com

M.Quraish Sihab, (2002). Tafsir Al-Misbah (pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an), Jakarta : Lentera Hati,

Muhammad Nasib ar-Rifa’I,(2000).  Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Terj. Syihabuddin),  Jakarta : Gema Insani,

Tohirin, (2011). Dasar-Dasar Metode Penelitian Pendekatan Praktis Panduan Penulisan KaryaIlmiah (Sinopsis, Proposal Dan Skripsi) Bagi Peneliti Pemula,Pekanbaru:




           






 
DAFTAR PERTANYAAN
1.      Dari Fahrul Rozi :
-          Masukan : diharapkan pemakalah mengutip pendapat mufassir hendaknya mengetahui dan memasukkan biografi ulama tersebut, sehingga diketahui latar belakang dari mufassir tersebut.
-          Pertanyaan : Dalam Islam yang menjadi objek penelitian adalah anak dan keluarga kita, lalu bagaimana dengan orang non muslim, apakah mereka tidak termasuk objek pendidikan Islam ?
2.      Dari Nurhadi :
-          Antara makalah 3 dan 4 saling berhubungan, bagaimana pendapat anda tentang subjek dan objek pendidikan. Kenapa harus dipisah ? guru disebut sebagai subjek dan murid sebagai objek !
3.      Dari Basrinsyah :
-          Bagaimana cara mengimplikasikan cara memukul anak, dan pukulan apa yang baik jika anak melakukan kesalahan?

JAWABAN
1.      Jawaban untuk masukan dan pertanyaan dari Fahrul Rozi.
Jawaban  yang menjdai masukan dari Fahrul Rozi:
Biografi Al-Biqa’I, Al-Biqa’I memiliki nama lengkap Ibrahim bin Umar bin Hasan ar-Ribat bin Ali bin Abu Bakar Asy-Syafi’I al-Baqa’I, lahir di Biqa’ kota Damaskus, Suriah pada tahun 809 H / 1406 M dan meninggal pada tahun 885 H / 1480 M. Al-Biqa’I merupakan ahli tafsir pertama yang berhasil menemukan  metode keserasian ayat demi ayat bahkan kata perkata dalam Al-Qur’an sehingga kitab tafsirnya diberi nama Nadzmu al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar ( susunan permata tentang hubungan ayat dengan surah ). Atau lebih dikenal dengan Munasabat al-Biqo’i.
Pengenalan al-Biqa’I terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an diawali dengan belajar ilmu Qira’ah dibawah bimbingan Ibnu Jazari seorang ulama ahli Qiro’ah dari Suriyah. Selanjutnya al-Biqa’I mendalami berbagai ilmu agama dari berbagai ulama ahli pada masanya. Di antara ulama yang menjadi gurunya adalah at-Taj al Garabili ahli hadits sekaligus sejarawan (w. 835 H / 1434 M), Abu al-Fadil al-Magrabi seorang ahli Fikih (w. 866 H / 1465 M), dan al-Qayati, seorang sastrawan dan ahli Ushul Fikih, lahir 782 H / 1380 M.
Al-Biqa’I pernah menjadi guru besar dalam bidang Hadist di masjid Qal’at Mesir. Banyak ulama mengakui kemampuan dan keilmuan beliau, seperti Imam asy-Syaukani menilai bahwa, al-Biqa’I adalah pakar berbagai disiplin ilmu agama, bukan hanya tafsir saja. Ibnu al-Imad seorang ahli tafsir mengatakan bahwa al-Biqa’I adalah ilmuan yang senang berdiskusi, gemar mengkritik dan penulis yang produktif.
Selain ahli tafsir, ia juga ahli dalam bidang bahasa Dan sastra, bidang Fikih dan Ushul Fikih, bidang Akidah dan Tasawuf dan ilmu sejarah serta biografi.
Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu  adalah salah satu di antara para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang telah  lama  masuk Islam. Beliau masuk Islam sebelum perang Badar.  Akan tetapi, dalam peperangan itu, beliau  belum sempat mengikutinya. Baru, setelah peperangan itu, beliau  tidak pernah absen dalam jihad di medan peperangan.
Dia juga salah seorang sahabat Rasulullah yang masyhur. Dia dikaruniani Allah berupa keutamaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya.  Di antara keutamaan yang beliau  miliki, yaitu Malaikat Jibril Alahissallamseringkali datang menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam wujud menyerupai dirinya. Imam an-Nasaa`i meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Yahya bin Yamur rahimahullah dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma
                            ﻲﺒﻠﻜﻟا ﺔﻴﺣد ةر ﻲﻓ و  ا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا  ﻲﺗﺎﻳ اﺒﺟ ن.
Malaikat Jibril Alaihissallam mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallamdalam rupa  Dihyah al- Kalbi.
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam al-Bidayah  wa an-Nihayah, sepulang dari menemui kaisar dan Dihyah mendapatkan hadiah yang banyak dari kaisar ketika  ia telah  sampai di daerah Hisma, ia dihadang oleh sekelompok orang dan mereka pun mengambil semua yang ada padanya. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu  untuk  memerangi mereka.
Demikian, sekilas kisah Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu. Pada masa hidupnya, beliau  tinggal di daerah Mizzah  di Damaskus, dan beliau  hidup hingga sampai masa kekhilafahan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Jawaban dari pertanyaan Fahrul Rozi :
Berdasarkan Qs. At-Tahrim ayat 6 : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” ( Qs. At-Tahrim : 6 )
Yang menjadi objek pendidikan atau yang menjadi tanggung jawab dari setiap muslim adalah dirinya sendiri, ahli keluarga, kaum kerabat dan orang-orang muslim yang dibawah perlindungan seorang muslim tersebut, hal ini juga berkaitan dengan ketaatan kepada Allah dan mengikuti segala perintahNya dan juga dalam hal mengajarkan kepada keluarga tentang perbuatan ketaatan yang dapat memelihara dirinya dengan  cara memberikan nasehat dan pendidikan.
Berkenaan dengan orang-orang non muslim merupakan bukan objek pendidikan atau tanggung jawab dari orang muslim apabila orang non muslim tersebut tidak mentauhidkan Allah SWT. Karena dalam hal beragama Allah sangat tegas menjelaskan dalam surah Al-Kafiru ayat 6 : untukkulah agamaku dan untukmulah agamu.
Intinya adalah orang kafir tersebut akan mempertanggung jawabkan kekafiran mereka tersebut kehadapan Allah SWT. Sedangkan umat Islam akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan amal yang telah ia lakukan selama di dunia ini.

2.      Jawaban untuk pertanyaan Nurhadi :
Guru merupakan subjek pendidikan hal ini dikarenakan guru Menerima amant dari orang tua murid untuk mendidik, melainkan juga dari setiap orang yang memerlukan bantuan untuk mendidiknya. sebagai pemegang amanat, guru bertanggung jawab  atas amanat yang diserahkan padanya. Allah SWT menjelaskan dalam  Q.S. an-Nisa ayat 58 yang artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu  menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)  apabila menetapkan hukum  di antara manusia supaya kamu  menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik- baiknya  kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha  mendengar lagi Maha  melihat.
Berdasarkan Qs. An-Nisa ayat 58 tersebut sangat jelas memaparkan bahwa guru merupakan sosok sentral yang diamanahkan oleh orang tua untuk mendidik putra-putirnya di sekolah. guru merupakan TELADAN. Jadi, segala tindak-tanduk guru akan  selalu diperhatikan oleh semua kalangan. Selain itu Guru  bertanggung jawab untuk mendidik dan membantu menumbuh kembangkan kemampuan anak didik sehingga dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Oleh karena itulah guru disebut sebagai objek pendidikan.
Berkenaan dengan murid disebut sebagai objek pendidikan, hal ini jika dilihat dalam proses  pendidikan, peserta  didik  di   samping  sebagai  objek  juga sebagai  subyek pendidikan, Oleh karena   itu  agar  seorang  pendidik  berhasil  dalam  proses pendidikan. maka pendiddk harus memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya.
3.      Jawaban dari pertanyaan Basrinsyah : pendidikan Islam  melihat hukuman pukulan dalam mendidik anak, Sebagaimana kita ketahui, bahwa pendidikan Islam  sejatinya menganut sistem yang lemah lembut sebagai pijakan yang paling asasi  dalam mendidik, namun demikian hadits Nabi Muhammad SAW dari Ibnu  Amru Bin Ash secara gamblang dan  nyata memerintahkan untuk memukul anak, kalau  anak  tersebut tidak mau  taat kepada Allah SWT.
Perintahkanlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika usia mereka  7 tahun, dan di saat usia mereka  10 tahun, pukullah jika mereka  tidak melaksanakannya dan pisahkanlah tempat tidur mereka  (HR Hakim  dan  Abu Dawud)

Hadist ini secara sekilas terlihat seperti bertentangan dengan kaidah pendidikan Islam  yang bersifat lembut dan  penuh kasih  sayang. Akan tetapi, kalau  dikaji  secara mendalam memukul anak  dalam pendidikan Islam  harus memenuhi beberapa unsur di antaranya adalah;
-          Hanya dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT.
-          Setelah berumur 10 tahun, Memukul anak  yang tidak melaksanakan shalat bisa dilakukan setelah proses pengenalan dan  proses pembiasaan yang panjang dan  terus menerus dengan tahapan dan

periode yang benar. Jika semua proses sudah dilakukan dan  masih mengabaikan shalat atau bermalas-malasan dalam mengerjakannya, maka  pada saat itulah perintah memukul anak  ini berlaku sebagai sebuah pelajaran atas pengabaian terhadap perintah Allah. Sebab,  yang menjadi prinsip dalam hal ini adalah mematuhi perintah Allah karena anak-anak masih dalam kondisi fitrah dan  pengaruh setan masih lemah. Jika anak  bermalas-malasan dalam melaksanakan perintah Allah,  maka  itu adalah indikasi bahwa setan secara perlahan sudah mulai menanamkan pengaruhnya dalam diri anak.
-          Dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas, Tujuan yang paling utama ketika memukul anak  yang melalaikan shalat adalah untuk meluruskan dan  memperbaiki kesalahannya, bukan untuk menyakitinya. Sehingga pukulannya tidak boleh meninggalkan bekas, sebab kalau  ini terjadi maka  tujuan yang ingin dicapai bisa jadi sulit untuk dicapai. Memukul anak tidak bisa dilakukan sembarangan karena hakikatnya pukulan kepada anak tidak hanya dapat melukai fisiknya tapi juga dapat melukai jiwanya. Orang tua harus memahami kondisi anak  sebelum benar-benar memukulnya. Selain itu, orang tua juga harus memahami anatomi tubuh anak, mana yang memungkinkan untuk dipukul dan  mana yang berbahaya kalau  dipukul. Kemudian Kondisi  orang tua yang hendak memukul anaknya tidak boleh dalam kondisi capek, lapar dan  dalam kondisi emosional yang labil.  Hal ini untuk mencegah terjadinya penyimpangan tujuan dari memukul anak  tadi.
-          Adanya Quduwah (contoh) dari orang tua,  Hal yang sangat penting yang harus diperhatikan orang tua dalam proses pendidikan adalah kebutuhan anak  terhadap figur yang bisa dijadikan model oleh  anak  dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, anak  cenderung ingin mengikuti kebiasaan orang-orang terdekatnya, dalam hal ini adalah ibu dan bapaknya.
Keempat syarat di atas melekat dalam perintah memukul, sehingga kalau  tidak ada salah satu di antara keempatnya maka  pukulan terhadap anak  sama sekali tidak dibenarkan dalam perspektif pendidikan Islam


-           






[1] http//google.com. searc.33namakurnia.wordpress.com
[2] Tohirin, Dasar-Dasar Metode Penelitian Pendekatan Praktis Panduan Penulisan KaryaIlmiah (Sinopsis, Proposal Dan Skripsi) Bagi Peneliti Pemula,Pekanbaru: 2011, hal. 29
[3] Ibid
[4] Al Qurtubi, Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an (terj. Dudi Rosyadi), Jakarta : Pustaka Azam, 2009, hal. 744
[5] ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir (Terj. M.’Abdul Ghoffar, dkk.), Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2016, hal. 44
[6] Ibid
[7] Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Terj. Syihabuddin),  Jakarta : Gema Insani, 2000, hal. 751
[8] 33 namakurnia, Op.Cit
[9] ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman, Op.Cit, Hal. 44
[10] Ibid, hal. 44
[11] Ibid
[12] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tejemah Tafsir Al-Maraghi (Terj. Bahrun Abubakar), Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1974, hal. 220
[13] Al Qurtubi, Op.Cit, hal. 746
[14] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op.Cit,  hal. 220
[15] Ibid
[16] Al Qurtubi, Loc.Cit.
[17] Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman, Op.Cit, Hal. 44
[18] Ibid
[19] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op.Cit,  hal. 68
[20] Abdurrahman bin Nashir, Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan (Terj. Muhammad Ikbal, dkk.), Jakarta : Darul Haq, 2014, hal. 387
[21] Ibid, Hal. 388
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op.Cit,  hal. 68
[25] Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta : Pustaka Panjimas, hal. 90
[26] Ibid, hal. 90
[27] Ibid, hal. 91
[28] M.Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah (pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an), Jakarta : Lentera Hati, 2002, hal.750
[29] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op.Cit,  hal. 69

1 komentar:

  1. Wynn casino opens in Las Vegas - FilmfileEurope
    Wynn's first hotel casino in Las Vegas since www.jtmhub.com opening its doors in 1996, Wynn Las 토토 사이트 Vegas is the first hotel kadangpintar on the poormansguidetocasinogambling.com Strip to offer such a large 바카라 사이트 selection of

    BalasHapus